Sudah menjadi rutinitas pagi saya berkendara motor menuju kantor. cukup jauh memang, dari cikarang menuju stasiun bekasi nyambugn kereta listrik menuju ‘beos’ Jakarta kota. Sebenarnya ada alternative naik kereta rangkaian dari cikarang atapun cibitung, karena pertimbangan ‘pribadi’ saya lebih milih terlebih dulu naik kuda besi sampai bekasi.
Perhatian saya kali ini terusik pada sesosok tubuh ‘nggelesot’ di pinggir jalan dengan setia meacungkan gelas plastic kepada pengendara. Kaki tampak buntung sebelah. Ada diantara beberapa dengan lutut di perban sana sini hingga nampak menjijikkan. Tidak jarang ‘bahkan sering’ lemparan receh maupun kertas singgah ke dalam gelas ini untuk kemudian singgah dengan manis ke kantong.
Lampu merah perempatan (masuk) tol bekasi timur, lebih parah lagi malah. Setiap lampu merah mendapat giliran ‘unjuk cahaya’, setiap motor maupun mobil akan disamperin oleh ‘orang-orangan sawah’ yang mencungkan tangan. “Den, sedekahnya den. Buat makan!”, katanya lirih. Mereka nyelip diantara pengendara tanpa peduli lampu segera hijau. Soal penertiban saya yakin petugas maupun polisi sudah menghalau mereka. Tetap saja kembali lagi dan kembali lagi.
Saya hendak soroti bukan pada soal ketertiban, tapi, pada mentalitas mesti diubah. Mentalitas pengusaha, masyarakat awam –terutama orang-oranga sawah tuch- , pekerja, dan tentu saja pejabat birokrat paling penting. Kenapa penting? Terang saja, “segala kebijakan public tentulah mesti lewat jalur birokrat”, pengamat politik biasanya bilang gitu.
Menjual ‘rasa iba’ dengan pakaian ‘orang-orangan sawah’ compang camping, entah berapa persis pendapatan mereka dalam sehari. Pernah saya baca, tapi, sumbernya entah dari mana, ada sebuah survey mereka mendapatkan 25rb dalam sehari. Minimal! Hanya dengan modal tengadah tangan dan bilang “sedekah mas! Bu! Mbak! Pak!…”
Dalam sebulan boleh dikata 750rb masuk kantong. Inipun kalau mengerahkan seorang diri. Pernah dalam harian lokal menulis tentang sosok seorang ‘raja pengemis’ yang menjadi bos dan menerima setoran dari anak buah yang di tebar. “jangan-jangan ini memang profesi”, batinku. “Ada pelatihan khusus untuk para calon pengemis”, wuih mantep juga mereka. Kali gitu. Tidak jarang diantara mereka menurunkan seluruh kekuatan yang ada. Dari mulai emak, bapak, anak, sampai orok mereka tenteng-tenteng.
Kenapa mereka bertahan?
Apa iya karena faktor ‘tidak ada pilihan lain’?
Komunitas TDA dengan jargon ‘bersama menebar rahmah’ (bener gak sih, mohon maaf karena saya baru beberapa hari bergabung. Inipun sekedar millist) bisa lebih sensitive lagi. Sosial oriented –diluar nyantunin anak yatim dan yayasan tentusaja- lebih diberi porsi lagi. Paling tidak, bisa lebih berperan serta menggeser image “ah, gue nadahin tangan aja udah pasti dapet duit. Ngapain pusing capek capek kerja. Jualan juga belum tentu ada yagn beli!”, kata (yang mungkin) ada dalam benar orang-orangan sawah ini. “Ah, gue nyoba ngasong yang jelas-jelas pake modal sering diusir melulu. Uah untung gak seberapa, yang pada beli juga milih-milih, nawar gak ketulurngan. Mendingan minta-minta klo kabur gampang gak perlu mikirin dagangan”, (mungkin) ada juga yang isi kepalanya kayak gitu.
“Rahmat bagaimana mesti ditebar? Apakah dengan kiprah bagi-bagi sembako dan bhakti sosial masih belum cukup? Anak-anak yatim juga sudah banyak yang disantunin! Yayasan yayasan juga tidak kalah sedikit yang rutin disambangin!”, ada yang protes kayak gini gak ya?
Think Out of the Box. Entah bagaimana mesti nulisnya. Yang jelas ini bukan artikel, atau nasehat, tapi, boleh dikata semacam curhat. Boleh dikata, “sekedar melatih menuliskan apa yang ada di kepala”.
Dengan memberi ‘sedekah secara gampang –lempar koin-’, image “ngapain kerja kalau minta-minta saja banyak yang ngasih”, akan semakin tumbuh subur. Bisa jadi generasi 5 atau 10 tahun mendatang malah makin banyak. Padahal seorang nabi pernah bersabda ‘dan jika kamu masuk hutan kemudian mencari kayu bakar kemudian menjualnya kepasar, adalah lebih baik ketimbang minta-minta”. Dan, si nabi ini –katanya, paling tidak menurut KTP- dianut oleh lebih dari 90% warga bekasi.
Uang gampang alias sedekah recehan dari para pengendara motor atau mobil bisa saja dialihkan untuk memberi penghargaan pada para pedagang. Para penengadah tangan merasa betah dan konsisten dengan profesinya tentu karena menghasilkan. Coba kalau tidak ada yang ‘ngasih’, tentu mereka rontok dengan sendirinya.
Pedagang kecil tentu merasa ‘lebih dihargai’ keberadaan kalau dagangan mereka dibeli. Secara professional tentu saja. Entah kenapa nih, otak tiba-tiba mampet begini. Susah bener mau nyelesaiin satu tulisan ‘demi bisa ikut duduk bareng bapak walikota, dan paling penting adalah makan siang gratis dengan pejabat.
Oke-deh, pokoknya gini. Intinya, saya Cuma menyoroti bagaimana caranya agar mental-mental orang-orangan sawah tuch pada cair. Disini dibutuhkan kolaborasi antara para birokrat sama pebisnis. Intinya lagi, bagaimana caranya kampanye agar warga bekasi tidak dengan entengnya ngasih sedekah dengan ‘uang gampang’. Tapi, mudah ngasih sedekah buat para pedagang yang jelas-jelas mau usaha.
Lantas, apakah menjadi ‘timer’ di perempatan jalan yang tidak ada lampu merahnya juga bisa dikategorikan pengusaha? Waduh, saya bingung dech kalau soal satu ini. Bukan sedekah jelas saja, tapi, lebih sering didorong rasa takut mobilnya kenapa-kenapa kalau tidak ngasih.
Pembangunan ekonomi bisa dipupuk melalui komunitas paling dasar, misalnya dengan “jangan segan segan membeli bensin tiga liter dari pedagang eceran dengan selisih harga 500perak –dan anggap saja ini bentuk sedekah- ketimbang mesti ngantri di pom bensin”.
Wah, kayaknya gak bertema banget ya tulisan ini. Secara sistematika juga kacau abis. Mudah-mudahan ada yang sudi ngelengkapin dengan komentar-komentar. Mohon dimaklum, baru mau belajar nulis di workshop yang diadain TDA 16 januari nanti.
Lagipula, saya yakin koq. Syarat untuk bisa ikutan undangan ke jamuan makan siang bersama bapak walikota bekasi bukan semata-mata ‘tulisan yang bagus atau mendetail. Tapi, lebih condong kearah, “memancing agar lebih bisa bersuara –melalui tulisan- mengeluarkan uneg-uneg (argument kalau istilah kerennya mah) di kepala. Jangan bisanya Cuma bisa dongkol aja kalau melihat sesuatu yang tidak sreg di dada.
Kasih kail. ajari cara makenya, tunjukin tempat mesti dituju, tuntun dan bimbing jalan mana mesti ditempuh. Ini yang saya coba mau keluarkan dari kepala saya. Melalui tulisan walau dengan sangat sangat sangat sulit dilakukan.
Dan, saya sudah mencoba!
Salam,
salwangga
Sumber gambar