Saya tergelitik untuk memposting tulisan dengan tema Pancasila, setelah melihat suplikan berita dari statsiun TV One yang menyiarkan salah seorang calon Hakim Mahkamah Konstitusi. Saya tidak tahu nama sang calon, namun wajahnya yang dilengkapi dengan kumis tebal tersebut, terlihat kurang percaya diri ketika diminta untuk menyebutkan sila yang ada dalam Pancasila. Setelah itu terdengar komentar salah seorang anggota dewan yang mengatakan bahwa sebagai calon hakim MK, selayaknya hapal betul sila-sila yang ada dalam Pancasila. Sang calon hakim hanya senyum kecut ketika mendengar komentar anggota DPR tersebut.
Saya pun tersenyum (walaupun agak pahit) melihat adegan tersebut, bukan karena sang calon ini tidak lancar menyebutkan sila-sila, tapi melihat wajahnya yang tidak merasa bersalah sedikit pun sambil cengebgesan. Padahal sebagai calon hakim MK, seharusnya beliau sudah pada taraf “model atau teladan” bagaimana Pancasila itu dilaksanakan. Urusan hapal menghapal itu kelasnya anak-anak sekolahan. Bukan kah sumber segala hukum yang diberlakukan di Indonesia itu harus melandaskan pada nilai dan sila yang terdapat pada Pancasila. Kalau hakim saja tidak tahu tentang sila-sila tersebut, bagaiamana dia akan memutuskan suatu perkara dengan seadil-adilnya ? Sepanjang yang saya tahu, keputusan hakim bukan hanya didasarkan pada teks-teks pasal dalam undang-undang, hakim juga harus punya landasan moral dan nilai yang kuat dalam memutuskan suatu perkara. Salah satu landasan itu adalah Pancasila yang telah disepakati oleh bangsa Indoensia sebagai landasan filosofis dalam bermasyarakat dan bernegara
Mungkin karena banyak hakim yang tidak memahami filsafah dasar negera kita, akhirnya banyak keputusan hakim yang mengusik rasa keadilan publik. Seorang pencuri ayam atau seorang pencuri sandal jepit dihukum cukup berat, bila dibandingkan dengan tindakan hukum yang didakwakannya. Sedangkan bandar narkoba atau pelaku korupsi yang sudah jelas-jelas merugikan rakyat banyak, justeru bisa melenggang dengan bebas. Kalau toh mendapat hukuman, sudah bukan rahasia lagi kalau para tuan ini bisa bebas melenggang sehingga tidak ada bedanya dengan warga negara yang tidak melakukan pelanggaran hukum sekali pun.
Mari kita lihat lagi lebih luas dalam memotret kehidupan berbagsa pada saat ini. Setidaknya dalam penglihatan batin saya (kayak para normal saja !), kondisinya sedang krisis moral dan keteladanan pemimpin. Sang pemimpin bangsa besar ini sekarang sedang sibuk mengurus perahu politiknya yang mengalami ancaman karam. Di negeri yang sudah mapan secara demokrasi, tidak pernah saya mendengar adanya kabar seorang presiden yang begitu sibuk mengurus partainya walaupun hari libur sekalipun. Lihat juga bagaimana sekarang Wakil Presidennya pun sedang terancam karena diduga tersangkut kasus century gate. Bahkan seorang pemimpin muda yang digadang-gadang akan menjadi The Next President (bukan The Next Mayor) harus menghapus ambisinya karena memperoleh predikat tersangka dari KPK. Dan, yang lebih mengagetkan ketika seorang yang dikenal sangat fasih dalam mentafsirkan kitab suci, memperoleh musibah (katanya) akibat terlena dengan dengan urusan daging sapi. Bahkan kitab sucinya sendiri justeru dikorupsi. Kalau saya lanjutkan mungkin butuh ribuan postingan, namun untuk kali ini cukup sekian saja dulu.
Mengapa ini terjadi di negeri yang dikenal dengan negeri yang loh jinawi ini ? Tentunya banyak jawaban terhadap pertanyaan ini, kawan-kawan bebas mengeksplorasi jawaban, baik secara rasional maupun melalui pendekatan mistik. Namun, menurut hemat saya, centrang perentang-nya negeri ini akibat pengkhianatan massal terhadap amanat para founding father kita. Salah satu warisan besar tersebut adalah yang kita kenal dengan nama Pancasila. Mungkin banyak diantara kita (termasuk saya sendiri) yang tidak begitu hapal sila-sila yang terdapat didalamnya. Jangankan menjadi partitur dalam kehidupan berbangsa, menghapal saja sudah lama ditinggalkan.
Mestinya Pancasila menjadi keren kalau dijadikan sebagai jawaban terhadap berbagai kekisruhan di negeri ini. Lihat saja sila-sila yang terdapat di dalamnya. Pertama sila ketuhanan. Kita percaya bahwa sebagai warga negara memiliki agama yang akan menjadi jalan rel untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Manusia mungkin tidak bisa melihat, tapi tuhan selalu memperhatikan tingkah polah manusia. Kalau kita percaya ini, maka akan banyak pejabat yang takut korupsi, karena akan dilhat oleh tuhan. Kedua, kemanusiaan. Kalau sila ini dijalankan mungkin tidak ada lagi penggusuran atas nama pembangunan. Penggusuran mestinya menjadikan rakyat memperoleh imbalan yang lebih terhormat. Jokowi mengajarkan kepada kita tentang memanusiakan sesama untuk pembangunan. Masih untuk negeri ini diberikan seorang pemimpin seperti Jokowi. Seorang Jokowi tentu belum cukup untuk membereskan negeri ini, butuh Jokowi-Jokowi lain.
Ketiga persatuan. Apalagi sila yang ini. Setelah reformasi, konflik komunal menjadi bagian dari keseharian hidup berbangsa. Bukan hanya di wilayah luar Jawa , bahkan di kota besar seperti Jakarta, konflik fisik antara kelompok masyarakat menjadi drama satir yang harus disaksikan. Televisi menjadi media pemerkosa hak-hak rakyat untuk memperoleh tontonan yang lebih inspiratif. Karena hampir seluruh media menayangkan hal yang sama. Keempat permusyawarahan/perwakilan. Sistem ini tidak lagi mendasarkan pada musyawarah dan gotong royong. Saat ini, yang terjadi adalah siapa yang kuat dia yang menang. Terakhir keadilan sosial. Kalau yang ini capek deh ! Silahkan temen-temen berinprovisasi saja. Biasanya imajinasi lebih hebat dari pada tulisan.
Masih banyak keluhan yang bisa disampaikan melalui media sosial seperti ini. Namun terpaksa saya harus menggantungnya di sini. Tiba-tiba saja, ketika sedang asyik kutak ketik, saya teringat dengan perkataan bijak istriku tercinta, jangan menjadi manusia yang selalu mengeluh, tapi jadilah manusia yang selalu berbuat demi kebaikan. Saya gak mau mengkhianati nasihat suci seorang istri, jadi silahkan dilanjutkan oleh teman-teman baik saya. ….hehehehehe !