Wahai teman-teman blogger. Mohon bantu perjuangan kami guru TIK/KKPI dengan menandatangani petisi ini
http://chn.ge/1fJeaxY
Wahai teman-teman blogger. Mohon bantu perjuangan kami guru TIK/KKPI dengan menandatangani petisi ini
http://chn.ge/1fJeaxY
Judul Buku : Kopi Sumatera di Amerika
Penulis : Yusran Darmawan
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, Desember 2013
Tebal : xiii + 251 halaman
ISBN : 978-602-1606-08-7
Saya selalu menyukai gaya menulis Yusran Darmawan di blog, yang tahun silam dinobatkan sebagai Kompasianer of the Year ini. Untaian kalimatnya terangkai rapi dengan narasi yang indah dan menggugah membuat saya selalu merasa betah untuk membacanya dari paragraf pertama hingga paragraf terakhir. Renyah, segar dan inspiratif.
Saat mendapatkan kabar bahwa buku karyanya “Kopi Sumatera di Amerika” telah terbit, saya buru-buru memesannya lewat Gramedia Online. Alhamdulillah, minggu lalu, buku ini telah tiba dan segera saya baca tuntas. Meski nyaris semua isi buku yang sebelumnya sudah pernah ditayangkan di blog ini sudah saya baca, namun membacanya kembali sungguh membawa sensasi tersendiri.
Buku “Kopi Sumetera di Amerika” (selanjutnya saya sebut KSDA) ini seakan membawa imajinasi kita “bertamasya” ke sebuah negeri nun jauh dan kerapkali menjadi impian semua orang-termasuk saya — untuk mendatanginya. Dengan lincah, Yusran menuturkan pengalamannya mulai di halaman pengantar tentang bagaimana “jasa”ngeblog di Kompasiana yang mengantarkannya memperoleh beasiswa di negeri Paman Sam itu. Yusran bertutur dalam artikel berjudul “Berkat Kompasiana, Dapat Beasiswa Ke Luar Negeri” itu :
Dulunya, aku hanya bisa bermimpi tentang belajar di negeri orang lain. Aku hanya bisa berkhayal, tanpa tahu kapan kesempatan itu akan menyapa. Bahkan ketika para sahabat mengirimkan aplikasi untuk beasiswa, Aku hanya menyaksikannya saja, tanpa sedikitpun keinginan untuk mencoba peruntungan. Aku kerap pesimis saat hendak menjalani sebuah seleksi. Aku sering merasa bahwa diriku bukan tipe orang yang beruntung sebagaimana kisah Aladin penemu lampu wasiat atau Ali Baba yang menemukan gua berisi harta karun.
Dua tahun silam, seorang kawan pernah berbisik bahwa saat dirimu tak pernah mencoba, maka dirimu tak pernah punya kesempatan. Maka selagi ada kesempatan, cobalah berbagai peluang. Saat dirimu mencobanya, maka dirimu punya kesempatan untuk mencetak keajaiban. Kalimat ini serupa mantra yang menyalakan sesuatu dalam jiwaku. Ada inspirasi yang tiba-tiba menyelusup. Barangkali, kehidupan adalah sebuah panggung di mana kita mesti menjemput beragam peluang. Kita mesti menghadapi hidup sebagaimana seorang nelayan yang setia menebar jaring di mana-mana. Tak semua jaring akan menghasilkan ikan, namun dengan cara menebar di mana-mana, ia sedang memperbesar peluang. Ia sedang menebar harapan.
Ya, Yusran mengawali buku ini dengan bagaimana ia merentang impian dan kemudian menggapainya sekuat tenaga, tanpa menyerah. Berkat aktifitas ngeblog di Kompasiana, proposalnya untuk mendapatkan beasiswa IFP-Ford akhirnya terwujud. Ia terpilih menjadi salah satu dari 50 pemenang beasiswa IFP (International Fellowship Program) dari ratusan peminat yang mendaftar. Dan dari sinilah rangkaian kisah menarik perjalanan seorang pemancing ikan, putra seorang guru biasa di pulau Buton ini menjalani kehidupan di Amerika berawal.
Ada 5 bab terdapat dalam buku KSDA yang masing-masing berisi 5 sampai 13 artikel.
Pada bab pertama bertajuk “Menjemput Takdir”, Yusran menceritakan bagaimana romantika perjalanannya pertama kali menginjak benua Amerika. Saya sempat ikut tegang membaca ketika Yusran menceritakan kegugupannya saat hilangnya tas ransel yang berisi sejumlah dokumen penting sebelum menghadapi proses imigrasi di bandara (“Kerikil-Kerikil Menuju Ohio”, halaman 3). Yang membuat saya tersenyum, saat pemeriksaan imigrasi sang petugas Bandara menanyakan arti kalimat yang tertulis pada baju yang dipakainya“Walaupun Aku Buaya, Namun Aku Sudah Tobat & Menjadi Vegetarian” (halaman 9). Di artikel lain, pada bab yang sama, Yusran mengisahkan kecemasan pada kemampuan bahasa Inggris yang sangat rendah dan bagaimana ia menyiasati kendala tersebut (“Bahasa Inggris Hancur, Cumlaude di Amerika”, halaman 11 & “Ini Soal Kemampuan Bertahan!”, halaman 17).
Pada Bab 2 yang bertajuk “Ada Indonesia di Negeri Paman Sam”, Yusran dengan memikat menceritakan sejumlah ikon-ikon Budaya dan sosial di Indonesia begitu dikenal dan sangat populer di Amerika. Lihatlah bagaimana ia menceritakannya dalam artikel “Kuda Lumping di Kuliah Doktor” (halaman 33) atau “Bule-Bule Amerika Cinta Indonesia” (halaman 45). Saya sangat terkesan pada artikel “Petualangan Kosasih di Bumi Amerika” (halaman 63) yang menceritakan bagaimana karya maestro Komik terkenal negara kita RA Kosasih begitu dihargai disana bahkan disimpan di Library of Congress, perpustakaan terbesar dunia yang terletak di jantung kota Washington DC. Tidak hanya itu, di bab ini, Yusran memaparkan kiprah mengagumkan seorang Imam Masjid Terbesar di New York, Syamsi Ali, yang berasal dari Bulukumba Sulawesi Selatan dan dinobatkan sebagai salah satu dari 7 pemimpin agama paling berpengaruh di New York, yang dianugerahkan oleh New York Magazine (“Imam Bugis di Masjid Terbesar New York”, halaman 95)
Di Bab 3 yang berjudul “Tak Selalu Adidaya”, Yusran mengulas fenomena sosial di negeri Paman Sam, mulai dari “Washington DC, Kota yang Muram” (halaman 107) hingga “Syair Lirih Bangsa Indian” (halaman 147). Pada bab ini, saya seakan diajak Yusran berjalan-jalan menyusuri dinamika kehidupan sosial masyarakat Amerika. Saya menyukai bagaimana Yusran mengisahkan kisah Petani di Athens, Ohio yang memiliki posisi yang sejajar dengan semua profesi, berbeda dengan di Indonesia dimana Petani identik dengan kebodohan, kekotoran atau akses pendidikan yang rendah (“Pasar Petani, Pasar Kehidupan”, halaman 143).
“Warna Warni Amerika” adalah judul yang tertera di Bab 4. Disini Yusran mengupas keanekaragaman sosial budaya di negeri Paman Sam yang unik dan mengesankan. Saya sempat tercenung membaca artikel “Hidup Mati Perpustakaan Amerika” (halaman 165) yang dengan lugas memaparkan pengelolaan perpustakaan di desa kecil Athens. Disitu, ayah satu anak (Ara) yang juga dinobatkan sebagai Reporter Terbaik Kompasiana 2013 ini menulis:
Sepulang dari situ, aku membayangkan bagaimana nasib perpustakaan di tanah air. Hampir semua orang tahu bahwa di tanah air, perpustakaan umum, apalagi perpustakaan yang berlokasi di daerah adalah tempat yang berdebu dan kusam. Perpustakaan serupa gudang tempat menyimpan buku-buku dengan koleksi yang tidak pernah di-update. Perpustakaan hanya berisi ruang buku, serta ruang baca. Itupun suasananya sangat kusam dan kaku.
Sementara di tempat seperti desa kecil Athens di Amerika, perpustakaan adalah jantung kegiatan warga. Perpustakaan dihidupkan oleh komunitas, menjadi tempat berinteraksi, serta membangun keakraban dengan banyak orang. Perpustakaan menjadi tempat memulai aktivitas, baik aktivitas yang berhubungan dengan sharing pengetahuan, ataupun aktivitas bermain, yang juga menguatkan inteligensi seorang anak.
Yang mengesankan bagiku adalah kegiatan yang variatif serta menyentuh banyak lapisan usia, serta daya dukung komunitas, yang menjadikan perpustakaan tidak saja sebagai tempat untuk membaca semua buku terbaru, namun juga kesadaran untuk menjaganya bersama, serta mengisinya dengan beragam aktivitas yang bisa menguatkan solidritas serta menjalin keakraban dengan banyak orang.
Di bab pamungkas bertajuk “Cinta Rasa Amerika”, Yusran menyajikan rangkaian keunikan “wajah” Amerika serta interaksi lintas budaya yang ditemuinya. Lihat saja misalnya bagaimana suami dari Dwiagustriani ini menceritakan kisah sahabatnya, Nanang Erma Gunawan yang melakukan prosesi Ijab Kabul dengan calon isterinya melalui fasilitas internet Skype pada Hari Sabtu 6 Oktober 2012 (“Kupinang Kau Dengan Karya Pramoedya”, halaman 223). Di bab ini, Yusran juga menuturkan kenangan indahnya pada kota Athens, Ohio, tempatnya menuntut ilmu (“From Athens With Love”, halaman 243 dan “Perahu Cinta Ohio Tertambat di Bali”, halaman 219)
Sungguh, menyimak untaian cerita Yusran Darmawan dalam buku KSDA ini telah membuka wawasan saya tentang banyak hal tak hanya pada fenomena sosial dan budaya di Amerika belaka, namun juga pesan moral yang kental dikemas dalam rangkaian kalimat yang renyah untuk dicerna. Yusran benar-benar mengeja aksara kehidupan di negeri Paman Sam dengan perspektif kritis dan bernas. Ia tak sekedar mengamati dan mencatat, namun dibuku ini Yusran menyajikan pula inspirasi dan motivasi berharga bagi kita dan bangsa ini. Foto-foto memukau yang ditampilkan dalam buku ini juga menjadi daya tarik tersendiri buat pembaca.
Yang patut jadi perhatian khusus bagi saya adalah, karena buku ini diangkat dari catatan-catatan Yusran di blog dimana memiliki ciri interaktif lewat komentar pembaca dan backlink, mungkin tak ada salahnya jika pada artikelnya ditampilkan pula komentar pembaca pilihan yang tak sebatas hanya menanggapi namun mungkin bisa akan memperkaya tulisan Yusran dengan diskusi intens terkait materi artikel yang disampaikan (sama seperti pada buku “Intelijen Bertawaf”-nya sang Bapak Blogger Kompasiana, Prayitno Ramelan).
Akhirulkalam, buku KSDA ini bisa menjadi rujukan kontemplatif, yang ringan dibaca namun penuh muatan makna bagi para pembaca yang ingin mendapatkan inspirasi tentang sisi-sisi kehidupan menarik di Amerika.
Selamat untuk Yusran Darmawan ! Saya sungguh menikmati membaca buku ini dan ditunggu buku berikutnya ya
Sumber foto:
Facebook Yusran Darmawan
Komunitas Sejuta Guru Ngeblog yang saya luncurkan bersama para pemenang guru era baru acer ini sepintas terlalu bombastis, dan tidak realistis.
Lagi-lagi Indonesia dikejutkan dengan panasnya hubungan bilateral antara negara - negara tetangganya, hidup bertetangga tidak membuat Indonesia menjadi negara yang lebih baik, namun hanya keterpurukan yang selalu diterima negara Indonesia. Sebut saja dengan Malaysia, banyak sekali tingkah laku yang di buat oleh negara ini, sehingga membuat seluruh rakyat Indonesia menjadi gerah melihat kebijakan pemerintah yang cenderung bersabar terhadap Malaysia. Belum lama ini Indonesia juga harus menerima peristiwa yang sangat pahit dari Negeri Kangguru, peristiwa penyadapan terhadap sejumlah pejabat pemerintahan RI yang dilakukan oleh pihak Australia, ditambah dengan insiden yang dilakukan oleh media asal Australia yang salah dalam mengetik nama orang NOMOR 1 di Indonesia (Bambang >> Bang Bang), di sengaja atau pun tidak disengaja tetap saja sudah mencoreng kehormatan bendera Merah Putih, berlebihan kah saya?
Baru-baru ini sebuah pulau kecil, sudah mulai berani melakukan gertak sambal terhadap Indonesia, menerbangkan pesawat tempur asing dengan ketinggian yang rendah di atas permukaan daratan pulau Batam. Aksi ini kemungkinan berkaitan erat dengan penamaan sebuah pesawat tempur milik Indonesia yang sangat di protes oleh pemerintahan Singapore. Lantas langkah apa yang akan di lakukan oleh pemimpin di negara kita?
Saya rasa tidak ada yang bisa dilakukan oleh Indonesia, negara ini terlalu banyak DIAM dan karena diam itu adalah seperti EMAS di MONAS yang tidak bisa lari kesana-kemari jika terkena air hujan dan panasnya Matahari. Indonesia adalah negara kaya, SDA dan SDM pun sangat berlimpah, tapi harus takut terhadap negara yang selalu kekurangan air bersih macam Singapore? Dua hari yang lalu saya melihat Facebook dari Ketua Umum Blogger Bekasi yaitu Bpk. Aris Heru Utomo yang sangat serius mengomentari
Pernyataan Wamen ESDM Susilo Siswoutomo bahwa Indonesia hanya bisa bertahan lima hari jika Singapura menghentikan ekspor BBMnya ke Indonesia. Mengesankan ketakutan terhadap negara kecil yang bahkan sangat minim sumber daya alam. Sebagai seorang pemimpin/pejabat tinggi Kementerian, tidak layak ia mengeluarkan pernyataan seperti itu. Pantas saja Singapura berani terhadap kita. >> http://finance.detik.com/read/2014/02/09/181234/2491534/1034/apa-yang-terjadi-jika-singapura-setop-ekspor-bbm-ke-indonesia
Meskipun pemimpin/pejabat sudah sangat pesimis, tapi saya dan rakyat Indonesia lainnya selalu optimis, bahwa Indonesia benar-benar bisa berubah menjadi negara yang disegani! minimal Indonesia harus di segani di kawasan Asia Tenggara kemudian menjadi Macan Asia. Hanya ada 1 keunggulan Indonesia yang sangat disegani oleh Dunia, yaitu kekuatan tempur Militer Indonesia.
Militer
Semua negara di dunia selalu waspada untuk menyerang Indonesia. Bukan hanya waspada, mereka takut karena indonesia memiliki kekuatan elite tempur militer terhebat nomor 3 di Dunia, Yaitu Kopassus. Nomor satu di pegang oleh SAS UK , sedangkan no 2 di pegang oleh MOSSAD dari negara Israel. Hal ini jg diakui oleh para petinggi militer di negeri paman Sam. Menurut Jend. Peter Pace ::: saat ini ada 3 besar kekuatan militer dan Indonesia berada pada posisi ke 3. Tidak pernah terpikir oleh USA untuk menyerang indonesia. Amerika tidak berani mengusik indonesia, karena kekuatan Kopassus. Cara pendidikan Kopassus pun sangat dinilai terlalu sadis oleh negara-negara di dunia.
Kenapa Indonesia begitu di perhitungkan?
Jend. Tommy Franks: kita pernah punya pengalaman pahit di Vietnam dan Korea. Dan semua pemimpin USA sadar siapa dibalik ke 2 negara Asia yang pernah terlibat konflik dengan kita. Indonesia adalah guru bagi vietnam dan korea utara saat berperang melawan USA.
Jend Peter Pace: kita sering berlatih dengan Indonesia, kita sadar bagaimana kemampuan pasukan khusus indonesia. Pasukan kita sering kewalahan dalam setiap latihan perang dengan indonesia Southeast Asia, Indonesia selalu mennjadi sorotan dalam dunia militer.
Kopassus
Merupakan kekuatan militer elit yang dimiliki oleh Indonesia, dengan latihan yang berat, mental dan stamina mereka benar-benar di kuras habis-habisan. Dalam pelatihannya juga banyak peserta yang gugur di tengah jalan. Mungkin maksudnya disini gagal alias tidak lulus untuk memenuhi syarat-syarat untuk bergabung di Kopassus.
Sangat disayangkan jika mental para pemimpin di Indonesia tidak sehebat KOPASSUS, tetapi apapun itu saya tetap bangga dengan Indonesia yang memiliki daya tempur militer dengan nomor yang sangat terhormat dan saya tidak akan pernah bangga dengan para pemimpin masa kini. Loh bukankah pemimpin kita ini lulusan akademi militer terbaik di dunia?
*CMIIW
Sumber yang saya jadikan bahan untuk menulis tulisan ini, silahkan searching di Google dengan key “Urutan Kopassus di Dunia”.
Halo teman-teman guru era baru. Semoga sukses selalu.
Ikatan Guru Indonesia (IGI) kembali mengadakan workshop Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di kampus A, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rawamangun Jakarta Timur. Kegiatan ini adalah kerjasama IGI dengan penerbit Indeks.
Workshop PTK akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal: Minggu, 23 Februari 2014
Tempat: di Aula Wisma UNJ Rawamangun, Jl. Pemuda Komplek UNJ (turun di halte busway UNJ sebelah Gedung Sertifikasi Guru UNJ), telepon Wisma UNJ di 0214890236. Bagi peserta dari daerah yang membutuhkan penginapan dapat menghubungi pengelola Wisma UNJ.
Acara akan dimulai dari jam 8 pagi sampai 16 sore (8 jam), dengan nara sumber/instruktur Workshop:
Biaya Rp. 150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah), dimana peserta mendapatkan sertifikat, Buku mengenal PTK, konsumsi, dan bimbingan secara online usai pelatihan untuk membuat laporan PTK.
Biaya workshop atau pelatihan sudah ditransfer ke rekening panitia di Bank Bukopin UNJ, rek 0105035962 a.n. wijaya kusumah.
Mari kita sama-sama belajar ilmu penelitian tindakan kelas (PTK) secara baik dan benar. Semoga bapak/ibu guru dapat melaksanakannya di kelas sesuai dengan kaidah ilmiah. Temukan potensi unik yang dimiliki peserta didik melalui PTK.
Informasi dan pendaftaran dapat menghubungi omjay di hp 08159155515. Info lengkap di http://wijayalabs.com
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
http://wijayalabs.com
Selamat pagi kawan-kawn. Semoga sehat selalu. Dengan keadaan sehat itu kawan semua bisa menerbitkan buku dari tulisanmu di blog dan media sosial lainnya. Seperti kawan-kawan di blog kompasiana yang sudah menerbitkan bukunya.
Tidak mudah menerbitkan buku. Tetapi juga jangan dianggap susah. Sebab proses itu akan dialami dengan sendirinya, bila kita fokus melakukannya. Siapa yang fokus pasti akan berhasil menerbitkan bukunya. Mantra Manjada Wajada bisa jadi pemicunya. Siap yang bersungguh-sungguh pastilah akan berhasil.
Pengalaman saya menerbitkan buku, awalnya ditolak beberapa penerbit. Namun saya tak pernah menyerah. Saya betulkan naskahnya, lalu saya kirimkan ke penerbit lainnya. Bagi saya, pantang memberikan kembali naskah buku kepada penerbit yang sudah menolaknya. Masih banyak penerbit lainnya yang pasti akan menerima naskah yang saya tuliskan.
Ibarat orang jatuh cinta, belum tentu cinta kamu diterima. Bisa jadi hanya bertepuk sebelah tangan. Pada saat seperti itu, jangan pasrah dan menyerah. cari wanita lain, pasti akan ketemu jodohnya. begitulah bila penulis mencari penerbit. Penolakan demi penolakan akan kau temui. Kamu akan gembira sekali bila ada penerbit yang mau menerbitkan naskahmu itu.
Namun jangan cepat puas dulu ketika bukumu terbit. Sebagai orang baru yang bukunya terbit, kita harus bantu juga pemasarannya. Dengan begitu, bukumu akan dikenal dan banyak dibaca orang. Tentu kawan perlu mengadakan acara yang membuat bukumu dikenal pembaca yang akan kamu sasar. Bila dananya kecil, bawalah selalu bukumu dan jadikan doorprize buat peserta. Bisa di saat seminar atau acara lainnya.
Kalau kamu seorang blogger, publikasikan bukumu melalui blog di internet dan media sosial lainnya. Ajaklah teman-teman blogger lainnya untuk membuat resensi dari buku yang kamu tuliskan. Bila ada 10 orang blogger yang menuliskannya, wow akan semakin banyak orang mengenal buku yang dituliskan.
Dalam menerbitkan buku, kamu bisa menerbitkan sendiri melalui jalur indie, atau menyerahkannya pada penerbit mayor. Bagi saya, menerbitkan buku pada penerbit mayor akan memudahkan penulis dalam memasarkan bukunya. Memang sih royaltinya cuma 10 %, tetapi kalau lakunya banyak ya jadi besar juga. Daripada royaltinya besar persentasinya, tetapi lakunya malah sedikit, hehehe.
Enaknya menerbitkan buku sih sederhana saja. Kita merasa senang karena apa yang dituliskan mendapatkan apresiasi dari orang lain. Apresiasi itu berasal dari editor, dan pemilik penerbitan atau pengelolanya. Mereka tentu sudah berhitung dan yakin kalau buku yang dituliskan akan dibeli banyak orang. Pada dasarnya, penerbit itu melirik tulisan kita karena ada unsur keuntungan di sana.
Satu hal enaknya jadi penulis. Kita dianggap pakar dan di mata pembaca kita adalah penulis yang menguasai ilmunya. Itulah mengapa banyak penulis yang naik statusnya jadi pembicara. Oleh karenanya, seorang penulis bukan hanya mampu menulis, tetapi juga harus mampu untuk bicara. Dengan bicara, akan terlihat wawasan luas sang penulisnya.
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
http://wijayalabs.com