Langit masih terang ketika aku memasuki mobil diparkiran dan meninggalkan gedung perkantoran sore itu. Jalanan mulai merayap dan suara klakson menjadi backsound yang membosankan. Sedikit memaksa untuk meminta sahabatku pulang dan seorang teman ikut mobil kami menembus kemacetan Jakarta.
” Kamu yakin ingin menemui dia ? ingin kami temani atau hanya ingin menemuinya sendiri ? ” ucapan sahabatku bernada khawatir. Dan aku meyakinkan bahwa aku baik-baik saja, dan ingin menemuinya.
” Percayalah ini bukan tentang something, aku memenuhi keinginannya karena entahlah aku merasa saat ini tiba-tiba ingin memenuhi keinginannya meski pesannya hanya lewat sahabat kami. Menemui sahabat lama…itu saja ” aku yakin ucapanku tidak mampu menutupi sedikit keraguan yang sebenarnya aku rasakan. Langit berarak senja, sahabatku berkomentar betapa indahnya langit senja. Akh senja… aku akan menemui seseorang yang melabelkan nama Senja setiap dia memanggilku.
Tanpa koneksi, tanpa interaksi, tanpa tersambung pada media socmed atau jaringan gadget, puisi atau diksinya selalu terkirim bertahun-tahun setiap aku berulang tahun meski lewat sahabat kami. Doa-doa nya untukku memenuhi ruangan khemotherapy dan ruangan RS meski hanya catatan-catatan yang dia titipkan. Dia ada meski dalam jarak tak terbaca, dia ada dalam diam, dia ada setiap aku terluka meski tanpa terkoneksi karena aku menutup rapat dan membangun dinding.
Jalanan masih merayap, tol dalam kota saat itu terasa begitu jauh dan lama. Celoteh sahabat dan temanku sesekali kutanggapi bergantian dengan konsentrasiku menyetir dan bayangan hilir mudik masa lalu. Membangun dinding adalah cara terbaik untuk berbahagia dengan hidup kami masing-masing, kami mungkin sudah menghabiskan stock cinta di masa lalu dan menyisakan sedikit kasih sayang sebagai teman tidak lebih. Tapi cinta yang tidak usai, kisah yang terpenggal, kekaguman yang tersimpan, cerita yang terhenti karena takdir adalah bab kehidupan yang harus ditutup serapat mungkin.
Tiba-tiba meminta sahabat kami dan menyampaikan pesan dia ingin menemuiku sebelum terbang kembali ketempat dia tinggal dan menetap adalah alasan mengapa kemacetan ini terasa mematikan rasa. Dua jam lebih dia sudah menunggu disebuah kedai coffee sebuah mall , dan kenyataan dia masih menunggu adalah kegelisahanku senja itu.
Tiba-tiba ingatanku kembali ke masa putih abu, tentang surat yang diam-diam slalu dia selipkan lewat pintu, tentang kebersamaan kami, kekonyolan dan segala bentuk rasa.Tentang tatapan matanya yang dalam, lalu tentang kesia-siaan sebuah penantian dan kesendiriaannya hingga kini. Klakson panjang membuyarkan ingatanku yang mundur pada bertahun-tahun lalu.
Dan kini, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku akan menemuinya…
Mobilku memasuki parkiran sebuah mall, sahabatku turun didepan lobby menuju pulang sedangkan aku memasuki mall dengan perasaan gamang. Sulit rasanya menggambarkan perasaanku, debaran itu memang tidak terasa tapi menemui seseorang yang pernah menjadi seseorang yang istimewa dalam hidup kita bukan sesuatu yang biasa. Sesaat langkahku terhenti dan memutuskan untuk pulang, saat hendak berbalik arah langkahku terhenti. Sosoknya berdiri diujung hall lurus menatap dan berjalan mengarah padaku.
Berperawakan tinggi, dengan tatapan mata yang tajam dan garis wajah tegas dan menawan, mungkin jadi alasan beberapa wanita dengan mudah datang dan mengelilinginya. Memakai celana jeans, tshirt putih dan sweater biru Don juan itu masih mempesona. Pria yang belagak kuat dihadapan semua orang tapi pernah begitu lemah dihadapanku. Dia berjalan perlahan mendekatiku, sesaat aku seolah melihatnya di waktu yang lalu. Ada yang berbeda, dia masih memiliki pesona tersendiri tapi wajahnya dan tatapannya…tampak lelah.
Kami duduk berhadapan disebuah kedai coffee yang menawarkan camilan donut dan sejenisnya, tempat kami sedikit terlindung dari pandangan umum. Mengarah pada jendela besar dengan pemandangan kota bekasi jelang malam.
” Apa kabar Senja ? ” ucapnya memecah keheningan.
Aku tersenyum dan mencoba mencairkan suasana dengan bersikap santai meski dia tampak rikuh dan tidak nyaman.
” Aku baik, gimana keadaanmu EL…? ”
Pertanyaanku hanya dia jawab dengan senyuman samar.
” Oh ya, ada apa ? Shinta bilang kamu keukeuh ingin ketemu aku ? ” tanyaku ringan. Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku, tatapannya beralih pada pemandangan malam diluar sana.
” Aku gak tahu kenapa aku ingin menyampaikan ini sama kamu Senja, aku harap ini tidak terlalu menyakitkan buatmu. Karena aku yakin , aku akan baik-baik saja… setidaknya aku akan baik-baik saja seperti kamu ”
Mungkinkah sesuatu yang buruk terjadi padanya ? jangan-jangan perasaan inilah yang membuatku mendadak menerima keinginannya untuk bertemu.
” Apa yang terjadi,..? ” ucapku tidak sabar.
” Aku mengetahuinya sejak 9 bulan lalu, baru 3 orang sahabatku yang sudah kuanggap sebagai kakak yang tahu kondisiku , keluargaku bahkan tidak tahu. kanker otak, Senja… pemeriksaan MRI meyakinkan diagnosa dokter. Akhir-akhir ini rasanya agak menyiksa, dan gak tahu kenapa aku ingin kamu tahu ” bisiknya pelan.
Entah apa lagi yang dia katakan, aku tidak lagi fokus menyimak ucapannya. Kanker Otak,… hanya itu yang terngiang ditelingaku. Ya Tuhan.. kanker otak. Benturan di kepala karena kecelakaan dan operasi yang membedah kepalanya dulu dokter bilang jadi penyebab kanker tumbuh disana. Skenario apalagi yang Kau hadirkan dihadapanku Tuhan. Kenapa dia harus datang hanya untuk menyampaikan berita ini ? aku berharap dia datang untuk menyampaikan surat undangan pernikahannya atau apapun yang membahagiakan. Bukan ini, bukan vonis dokter yang pernah dua kali mematahkan hatiku.
Bukan Carcinoma yang ingin aku dengar EL, bukan… bukan kenyataan bahwa kamu pun harus menjadi survivor seperti ku. Sudah cukup kamu menjadi penyemangat tak kasat mata saat aku berada di ruang RS. Sudah cukup kamu membagi semangat untuk sahabat-sahabatmu yang sakit. Sudah cukup kamu diam-diam menuliskan bait-bait penghiburan untukku.
Kamu gak perlu berada disana, kamu gak perlu menjadi pesakitan juga. Udara malam itu menjadi semakin kelam. kami terdiam, dia menatapku dengan pandangan yang slalu sulit kuartikan bermakna apa. Dalam,..dan menikam.
” Kamu mau berjanji untuk kuat dan bertahankan ? untuk orang-orang yang kamu sayangi EL. Untuk keluargamu, adikmu ? ” bisikku pelan.
Perlahan kedua tangannya memegang kedua pipiku, matanya terus menatapku. ” Wajah inilah yang membuatku kuat, kamu yang membuat aku yakin aku akan kuat. Kamu saja begitu lemah tapi bisa bertahan, apalagi aku. Aku akan kuat…aku janji ”
Tidak banyak yang kami bicarakan, tidak banyak yang dia bagi selain kesendiriannya dan hiruk pikuk teman wanitanya yang meski segudang kenyataannya dia masih saja sendiri.
Aku hanya menatapnya malam itu, tidak banyak bicara,bibirku seolah beku. Hanya merekam semua ucapan dan keyakinannya dan rencana-rencana pengobatannya. Termasuk rencananya beberapa bulan kedepan untuk berangkat ke RS di negara tetangga. Setelah itu dia sibuk mengingatkanku tentang jam yang sudah diangka 8 malam.
Matanya sedikit cekung dan ada lingkaran hitam disana meski dia keukeuh tidak suka begadang, pantaslah tubuhnya juga kurus dan tampak gelisah. Sesakit itukah kamu EL ? tiba-tiba aku ingat sepucuk surat penghiburan lewat sahabatku yang dia tulis untukku. Saat itu aku membacanya di toilet RS dimana aku sedang menjalani perawatan, dan surat itu membuatku menangis tersedu disana.
EL… bertahanlah, aku mohon. Aku tidak akan ada disana saat kamu merasa kesakitan. Aku tidak akan ada disana saat kamu membutuhkan seseorang untuk berbagi dan mensuportmu setiap waktu saat kamu down dan putus asa. Aku tidak akan ada di sana EL. Tapi aku mohon, demi apapun yang kamu cintai… berjuanglah jangan berhenti. Aku berada diluar lingkaran hidupmu, sudah sangat jauh. Tapi ada doaku yang akan terus terbang ke angkasa sama seperti doa-doamu untukku selama ini.
Aku tahu, ini mungkin akan jadi pertemuan terakhir untuk EL dan seorang wanita yang dia sebut Senja. Entah apa yang akan terjadi pada mu kelak El. Tidak ada saling follow atau tukar no hp, bahkan aku hapus semua jejak yang tertinggal. Ada nyeri yang perlahan merambati hati mengingat vonis dokter yang menghampirinya. Dia juga meneteskan air mata, matanya berkaca saat mengatakan terima kasih karena sudah menemuinya.
Aku marah karena dia mengatakan vonis hidupnya padaku. Untuk apa ?? untuk menyakiti aku atau entahlah… untuk membuatku bersedih tanpa tahu apa yang harus aku lakukan? itu konyol EL. Kamu datang menceritakan vonismu, lalu setelah itu kita akan berjalan di hidup kita masing-masing tanpa terkoneksi seolah tak terjadi apa-apa. Seolah aku tak mendengar apa-apa.
Kami berpisah, aku menatapnya dari balik jendela kaca mobilku yang terbuka. Mobilku melewatinya yang berjalan menuju parkiran dimana mobilnya terparkir. Mata kami sekilas bertemu…meninggalkan rasa sakit yang entah bermakna apa.