Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke sebuah sekolah di daerah Tambun Bekasi Timur. Sekolah ini mempunyai murid sekitar 200-an anak sekolah dari TK sampai kelas 6 SD.
Berdasarkan informasi yang saya dapat dari masyarakat sekitar dan pemilik sekolah, sekolah ini termasuk sekolah favorit. Banyak murid dari tempat yang jauh datang kesitu khusus untuk sekolah. Lulusan TK di sekolah ini dijamin sudah bisa membaca huruf latin dan pelajaran agama diterapkan secara mendalam.
Tetapi dibalik semua keberhasilan ini ada tersimpan sebuah kisah yang memilukan.Jangan bayangkan sekolah ini adalah sebuah sekolah dengan fasilitas lengkap yang berdiri diatas tanah ratusan meter. Jangan bayangkan banyaknya jumlah mobil pengantar di waktu pagi hari.
Sekolah ini hanya berdiri di atas lahan seluas 60m2 di tengah-tengah gang sempit dan becek. Kelas-kelasnya hanyalah 3 unit kamar kost yang berfungsi juga sebagai rumah tinggal. Setiap hari semua kamar ini penuh dengan murid dari jam 8 pagi sampai jam 9 malam dan setelah itu kamar disulap menjadi kamar tidur dengan kasur tipis sebagai alas penghangat tubuh.
Jika hujan turun, ember tersedia dimana-mana untuk menampung air yang bocor. Pintu “kelas” dalam kondisi sudah sangat rapuh dan harus ekstra hati-hati untuk membukanya jika tidak ingin pintunya jebol.
Sekolah ini semua muridnya adalah kaum miskin yang terpinggirkan dan kalaupun ada yang “kaya” itupun dengan pekerjaan sebagai buruh pabrik kontrak yang untuk makan saja mereka masih harus berhutang.
Biaya bulanan dibayar seikhlasnya tetapi sangat sering pemasukan tidak mencukupi karena tidak ada yang bisa bayar SPP.
Baru-baru ini ada sebuah “kemewahan” yang berdiri di sudut “kelas” yang sudah lama dinanti-nantikan oleh semua murid yaitu sebuah perpustakaan kecil.
Perpustakaan ini hasil sumbangan dari teman-teman pak toni yang di koordinir oleh seorang gadis manis penuh enerjik yang berkomitmen untuk me-mintarkan masyarakat Indonesia melalui sebuah wadah yang bernama SEBUAI – Sejuta Buku Untuk Anak Indonesia
Pemilik sekolah HEBAT ini adalah SEORANG PENGAMEN JALANAN yang dengan ikhlas dan berkomitmen tinggi berusaha selalu memberikan yang terbaik buat anak didiknya walaupun beliau sendiri juga sangat kekurangan.
Pendapatan ngamen seharian (paling banter dapat 50.000) masih harus disisihkan untuk biaya operasional sekolah dan sisanya di belikan nasi & lauk untuk makan malam sekeluarga di rumah yang sangat ditunggu-tunggu kepulangannya setiap malam.
Dari beberapa kali pertemuan, ada pelajaran berharga yang saya dapatkan dari pak toni, si pengamen jalanan pemilik sekolah ini yaitu sifat ikhlas membantu sesama dan komitmen tinggi untuk memajukan sekolah.
Pak toni sampai rela mengorbankan “harta” yang tidak seberapa untuk kemajuan anak didiknya. Rela membagi pendapatan harian untuk anak didik dan rela mengorbankan waktunya demi kemajuan orang lain.
Bandingkan dengan kita (termasuk saya pribadi) yang masih saja menghitung untung rugi dalam bertindak padahal sudah jelas-jelas di sebutkan dalam kitab suci agama manapun bahwa jika kita berkorban dengan ikhlas maka Yang Maha Kuasa akan menggantikan dengan yang lebih baik.
Banyak diantara kita (termasuk saya pribadi) yang masih saja mencari pembenaran hanya untuk kenikmatan pribadi dibandingkan dengan mengorbankan sedikit waktunya untuk kemajuan orang lain.
Semoga ada banyak muncul Toni-Toni lainnya di sekitar kita, amin…..
Naluri keingintahuan saya mendadak menyeruak saat membaca timeline di Twitter tentang kehadiran SITTI.
“Mahluk apa pula ini?”. saya bertanya-tanya dalam hati. Saya kian penasaran saat membaca artikelnya di blog yang menghebohkan “Hari ini Indonesia Menantang Google Inc.”, tepat dihari pertama bulan Oktober 2010.
Setelah menelusuri lebih jauh, pahamlah saya, siapa atau tepatnya apakah gerangan SITTI itu.
SITTI adalah Platform Iklan Kontekstual berbasis “pay per click”, mirip dengan konsep Google Ad-Sense, namun khusus untuk Bahasa Indonesia. Jadi iklan yang dipasang dihalaman blog/web berkonten bahasa Indonesia akan tampil sesuai dengan konten dimana script SITTI dipasang. Nama SITTI sendiri konon “diilhami” dari nama tokoh novel karya Marah Rusli yakni Siti Nurbaya. Saat ini, SITTI menyajikan 2 website, yakni SITTI Belajar untuk pemasang iklan dan Belajar SITTI untuk penerbit iklan (publisher)
Sebuah terobosan berani dan menarik.
Populasi Internet di Indonesia sudah mencapai 38 juta dengan perkembangan sebesar 1150% dalam 9 tahun terakhir. menjadi sebuah pasar potensil untuk berinteraksi dan memasarkan produk. Dengan 2 juta blogger yang terus tumbuh secara eksponensial di Indonesia dan memproduksi konten-konten beragam dan unik, menjadi “publisher” yang ampuh memasarkan produk melalui iklan kontekstual yang dipasang di blognya. Dilain pihak, para pengiklan produk di Indonesia melalui SITTI akan mendapatkan manfaat besar, melalui strategi pemasaran yang “segmented” sesuai dengan konten blog dimana script SITTI diletakkan.
SITTI memasuki celah ini dengan cerdas, terlebih ketika Google sang penggagas Ad-sense, sepertinya tidak terlalu sepenuh hati menggarap potensi besar ini di Indonesia.
SITTI akan menjadi jembatan. Tidak hanya buat para blogger yang bertalenta menulis dan berkeinginan mendapatkan penghasilan sampingan, namun juga para pengiklan produk memperoleh lahan promosi yang unik, berbeda, dan tepat sasaran. Simak penjelasan SITTI mengenai peran strategisnya ini:
SITTI memang hanya sebuah mesin. Mesin yang telah disekolahkan. Mesin yang mengerti bahasa Indonesia yang baik, benar, yang 4lay, yang nyleneh, bahkan yang slang jadul sekalipun. Dengan kemampuan ini, SITTI menjadi “biro jodoh” para pengiklan dan para pemilik situs. Bayangkan, kalau ada 50.000 blog yang menulis 50.000 artikel yang berbeda. Ada yang menulis tentang sepatu, mobil, lapangan bola, bahkan Luna Maya. Bayangkan, bahwa dalam waktu 1 detik, SITTI bisa membaca semua artikel ini lalu mencari “jodoh” iklan yang tepat untu disajikan kepada mata yang memang tertarik. Dalam satu detik. Bayangkan.
Inilah SITTI. Kalau Google Adsense® punya dunia, SITTI punya Indonesia. Dan hanya Indonesia.
Sebuah “jembatan digital” yang cerdas. Dan tentu idealisme (dan juga kenekadan) yang diusung oleh SITTI layak diapresiasi dan patut didukung sebagai bagian dari upaya meningkatkan sinergi interaktif antara penerbit dan pemasang iklan online di Indonesia. ZAO BEGUN di Rusia adalah contoh sukses pengelola iklan kontekstual dan menjadi acuan SITTI untuk ikut bergerak berada pada posisi berhadap-hadapan dengan sang raksasa Google. Perusahaan yang berdiri pada tahun 2004 ini masih tetap hidup hingga kini dari bisnis yang dikelolanya.
Saya tersenyum saat membaca artikel SITTI mengenai obsesinya menantang terang-terangan Google Inc, di blognya:
Kami menantang Google,inc untuk berkompetisi. Mohon maaf.
Sekali lagi, Maaf banget. Saya takut sama Google.
Google punya 1 juta server. SITTI punya 6.
Google punya 20.621 orang. SITTI punya 20.
Google punya 1.000 PhD. yang bekerja disana. SITTI punya 1, dan itupun nggak lulus-lulus setelah 6 tahun berusaha.
Google mendatangkan Rp 230 trilliun dalam satu tahun. SITTI mendatangkan Rp 630ribu dari penjualan teh botol di koperasinya Udin, si OB di kantor SITTI.
Google punya dunia. SITTI punya Indonesia. Dan hanya Indonesia.
SITTI hanya punya dua hal yang lebih dari Google; nekad dan teh botol. Itu pasti.
SITTI adalah sebuah mesin yang sudah “belajar” dari 600 juta halaman situs atau blog berbahasa Indonesia. Kami adalah orang-orang nekad yang merasa bahwa dunia digital ini harus menjadi economic enabler untuk banyak orang. Kami mau si Udin, OB kita dikantor SITTI, suatu saat punya blog untuk berjualan teh botol, coklat superman dan kacang mede merek bu Jono. Kita mau Udin menjadi wirausahawan yang sukses dengan medium digital
Ah, SITTI memang menggoda.
Tapi SITTI tidak sekedar memasang mimpi yang “asal-asalan”.
Pada tanggal 1 Oktober 2010, ketika pencanangan versi BETA-nya, SITTI sudah mendapatkan 80 juta pageviews, meluncurkan 2700 iklan di SITTI platform. Iklan-iklan ini datang dari 529 brands yang mau masuk ke dunia digital lebih dalam lagi. Ini sebuah awal yang bagus, dan semoga laju SITTI kian melejit dengan menyempurnakan fitur-fiturnya.
Saya sendiri sudah memasang script SITTI di blog saya, dan mudah-mudahan ini menjadi awal yang baik pula bagi saya untuk “menjajal” kemampuan sebagai penerbit iklan tentu dengan menyajikan tulisan-tulisan berkualitas dan bermanfaat.
gelap tak mengusik di hari yang cerah…
canda dan tawa kita menutupi sang bintang yang redup…
semua mata terpanah akan bulan yang indah…
sangat istimewa bagi kita sebagai pengarang dalam hidup..
entah kemana perginya arah sang bintang…
hanya ada sebuah sinar di langit semesta…
kami acuh untuk kesenangan di malam yang panjang…
kepulan asap tak mampu menutupi wajah bulan yang penuh rias…
kehidupan yang sunyi berubah menjadi kebisingan…
tidak sengaja kita membuat kehebohan…
entah apa yang orang lain pikirkan…
intinya kita senang dengan yang kita ceritakan…
itulah bocah telo…
bagaikan hidup yang datar…
ikatan yang membuat kita melupakan sejenak beban di benak…
di sisi lain itulah kami sebagai manusia yang tertatar…
malam yang riang perlahan mulai menghilang…
yah sudah waktunya ya !!!
mengangkat selimut, dan berlindung…
karena hari esok akan selalu menyapa bersamanya…
Semenjak siang tadi, Bekasi masih terus diguyur hujan. Setelah hujan reda, terbitlah banjir. Banjir sudah terlihat dimana-mana. Hampir setiap komplek perumahan yang ada di kota bekasi pastilah banjir. Termasuk di daerah tempat tinggal saya di Komplek TNI-AL jatibening bekasi. Air terus meninggi sampai sepaha orang dewasa.
Minggu 3 Oktober 2010, Bekasi seharian diliputi awan berarak. Suasana kelabu membuat orang enggan keluar rumah. Puncaknya sekitar pukul 12 siang, air bagai ditumpahkan dari langit. Meski tidak berlangsung lama, cukup untuk membuat sebagian wilayah di Bekasi terendam banjir. Belum lagi genangan air surut, hujan kembali tercurah dan air pun kembali menggenangi kawasan yang sudah terendam banjir.
Salah satu kawasan yang terpantau mengalami banjir adalah komplek perumahan Persada Kemala. Komplek perumahan yang berdampingan dengan perumahan Jaka Permai beberapa bagiannya langsung terendam banjir. Akibatnya warga yang tinggal di blok belakang kesulitan melewati jalan utama perumahan. Untung satpam bertindak sigap dengan menutup jalan yang terendam banjir dan membuka pintu gerbang tengah yang menuju jalan Gaharu di perumahan Jaka Permai.
Untuk sementara masalah akses masuk dan keluar perumahan Persada Kemala teratasi. Namun warga yang rumahnya berada di kawasan blok yang terendam banjir dapat dipastikan tidak bakal bisa tidur nyenyak jika hujan turun kembali. Mereka khawatir begitu hujan kembali menderas, airpun akan memasuki rumah mereka. Meski biasanya air yang masuk ke rumah tidak berlangsung lama, tapi sudah cukup untuk membuat badan pegal-pegal karena sesudahnya harus membersihkan kotoran yang terbawa air.
Banjir di beberapa kawasan perumahan di Bekasi sepertinya sudah menjadi langganan, penyebabnya antara lain sistim pembuangan yang tidak memadai. Sungai-sungai yang melintasi perumahan sudah tidak bisa lagi menampung debit air yang melimpah. Selain terhambat sampah-sampah, yang seringkali lupa dibersihkan ketika kemarau, tidak ada lagi kawasan yang berfungsi sebagai tempat penampungan dan peresapan air. Kawasan yang dulunya menjadi tempat penampungan dan peresapan air kini sudah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan baru yang sebagian arealnya ditutupi aspal.
Warga kini nampaknya hanya bisa bersikap pasrah dan berdoa semoga hujan tidak terlalu lebat sehingga habis hujan tidak menerbitkan banjir.
Kalau di Persada Kemala banjir setiap kali hujan deras dan agak lama, bagaimana dengan kawasan tempat tinggal anda?
Saya sudah menandai tanggal 2 Oktober 2010 saat penayangan perdana Film Televisi (FTV) “Badik Titipan Ayah” (BTA) di SCTV mulai jam 21.00.
Sebuah alasan sentimental membuat saya menetapkan hati menonton film BTA, tidak hanya karena mengangkat tema yang kental mengenai budaya Bugis-Makassar tempat dimana saya lahir dan dibesarkan, namun juga, salah satu pemainnya, Ilham Anwar (yang berperan sebagai Daeng Limpo) adalah teman sekolah saya di SMAN 1 Maros dulu.
Ada beragam ekspektasi merajai benak saya. Terlebih dibalik orang-orang yang mengerjakan FTV ini, terdapat sosok-sosok hebat di dunia perfilman mulai dari sang produser Deddy “Nagabonar”Mizwar, sutradara Dedy Setiadi dan bintang kawakan Widyawati yang berperan sebagai istri Karaeng Tiro. Aktor senior asal Makassar, Aspar Paturusi juga ikut berperan sebagai Karaeng Tiro dalam film ini. Beberapa bintang muda ikut meramaikan film BTA seperti Reza Rahadian, Tika Bravani dan Guntara Hidayat.
FTV BTA menceritakan kisah keluarga Karaeng Tiro (diperankan oleh Aspar Paturusi) dan istrinya Karaeng Caya (Widyawati) dilanda prahara keluarga yang sangat memalukan (siri’). Anak gadis tunggal mereka mereka Andi Tenri (Tika Bravia) kawin lari tanpa restu orang tua (silariang) dengan kekasihnya Firman (Guntara Hidayat).
Karaeng Tiro lalu meminta anak lelaki tunggalnya Andi Aso (Reza Rahadian) untuk menyelesaikan persoalan tersebut melalui “jalan adat” Bugis-Makassar: jalan yang menggunakan badik.
Bagi orang Bugis-Makassar, persoalan siri’ adalah persoalan adat, dan harus diselesaikan secara adat pula, dengan memberikan titipan badik (senjata tajam ala Makassar) kepada putra sulungnya itu. Tugas Andi Aso tersebut didampingi oleh anak angkat Karaeng Tiro bernama Daeng Limpo (Ilham Anwar).
Konflik kisah ini dibangun dengan baik, terlebih ketika Andi Tenri diketahui hamil dan mengungkapkan kegalauan hatinya pada Firman. Dilain pihak, kegeraman Karaeng Tiro atas apa yang terjadi pada putrinya tercinta tersampaikan dengan bagus melalui akting ciamik Aspar Paturusi, salah satu aktor Makassar idola saya dulu.
Perasaan dilema yang melanda Andi Aso antara rasa sayang kepada adik perempuannya dan upaya melaksanakan amanah tersirat sang ayahanda untuk “menuntaskan” persoalan malu dan harga diri secara adat, terlihat begitu lancar dituturkan lewat akting Reza Rahadian yang pernah membintangi film “Alangkah Lucunya (negeri ini)” dan “Emak Ingin Naik Haji” ini.
Permainan akting sahabat SMA saya, Ilo’ (nama panggilan Ilham Anwar) sebagai Daeng Limpo, anak angkat Karaeng Tiro sungguh menonjol. Karakter keras, konsisten dan temperamentalnya ketika mendampingi Andi Aso mencari Andi Tenri lancar diperankan aktor yang pernah membintangi sejumlah film dan sinetron ini.
Hal yang menurut saya cukup menganggu adalah logat ala Makassar yang dibawakan Andi Aso dan Andi Tenri kurang sesuai dengan apa yang biasa saya dengar. Hal ini cukup dimaklumi karena latar belakang mereka bukan asli dari daerah setting latar belakang cerita ini, namun meski begitu, aktris senior Widyawati berhasil melafalkan logat Makassar dengan lumayan baik diimbangi kemampuan akting yang memukau.
Akhir kisah ini sungguh dramatis dan mencapai klimaksnya ketika Andi Tenri dan sang suami (sambil membawa bayi mereka yang baru lahir) nekad datang ke Bira, kampung halamannya. Andi Aso dan Daeng Limpo menyambut kedatangan mereka dengan amarah membara. Badikpun dihunus oleh Andi Aso, bersiap melakukan “perhitungan” dengan Firman yang juga sudah menghunus badiknya.
“Ingat, badik yang sudah dikeluarkan dari sarungnya, pantang dimasukkan kembali sebelum melaksanakan tugasnya!,” tegas Daeng Limpo dengan mata menyala. Keadaan menjadi sangat tegang. Tanpa rasa takut sekalipun, Andi Tenri maju menghadapi Badik yang terhunus ditangan sang kakak, siap menghadapi kondisi terburuk sebagai wujud tanggungjawab dan resiko atas perbuatannya.
Ditengah situasi tersebut, Karaeng Caya yang dimainkan oleh Widyawati tampil menyelesaikan persoalan pelik itu secara elegan. Terlepas dari segala kontraversi yang terjadi, kearifan menyikapi masalah dengan tetap menegakkan kehormatan dan harga diri melalui berdamai atas segala ketidaksempurnaan merupakan jalan penyelesaian terbaik atas konflik yang terjadi secara humanis, dan dengan pendekatan cinta. Transformasi Siri’ pada kasus Silariang dalam BTA mencerminkan upaya menghadirkan harmoni berdasarkan azas kehormatan, harga diri dan kasih sayang bagi sesama.
Saya tertarik pada hasil penelitian Go Iwata, mahasiswa Jepang yang meneliti budaya Siri’ na Pacce’ selama 2 tahun (sejak Oktober 2008) di Sulawesi Selatan, khususnya di Galesong Takalar. Berikut kutipan penjelasan Mahasiswa S2 Kyoto University yang fasih berbahasa Indonesia, Makassar dan Bugis ini, dari Fajar News edisi 23 September 2010 :
Go Iwata begitu tertarik dengan konsepsi siri’ na pacce yang dianggapnya lahir dari sebuah masyarakat dinamis. Penelitiannya telah ia rampungkan, dan September ini ia akan kembali ke negaranya, Jepang. Untuk merampungkan tesis, katanya.
Lokasi penelitian Iwata di daerah Galesong, Takalar. Sebelumnya, tepatnya saat masih S1 di Jurusan Kajian Indonesia Fakultas Kajian Asing, Tokyo University of Foreign Studies pada kurun waktu 2002-2006, dirinya intens mempelajari Bahasa Indonesia.
Juga mempelajari budaya dan sejarah negeri beribu pulau ini. Terkhusus mempelajari budaya Bugis-Makassar yang terkenal sebagai perantau, banyak memiliki pahlawan, dan memiliki jiwa patriotisme tinggi.
“Dari situ saya tertarik untuk meneliti budaya Bugis-Makassar. Saya ingin tahu apa yang melatarbelakangi sehingga Bugis-Makassar ini bersifat begitu dinamis,” ungkap Iwata saat bertandang ke redaksi Fajar,Senin 20 September lalu.
Bukan hanya mempelajari budaya Bugis-Makassar, tetapi kebudayaan Jawa juga tak urung menjadi bagian yang dipelajari dan menarik perhatiannya. Hanya saja, penelitiannya fokus pada budaya Bugis-Makassar, yaitu konseps siri’ na pacce (Makassar) atau siri’ na pesse (Bugis).
Siri’ na pacce, kata dia, merupakan tema umum yang melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sulsel, khususnya etnis Bugis-Makassar. Iwata menjelaskan, pada mulanya, siri’ na pacce merupakan sesuatu yang berkaitan kawin lari.
Yakni jika sepasang pria dan wanita kawin lari, maka mereka telah dianggap melakukan perbuatan siri’ dan membawa aib bagi keluarga. Keluarga perempuan selanjutnya disebut tumasiri’, yaitu orang-orang yang berhak menuntut sang pria secara hukum adat karena keluarganya dibawa kabur (kawin lari).
Selama belum kembali melakukan perdamaian, maka selama itu pula sang pria tidak diperkenankan bertemu keluarga pihak perempuan sebagai pasangan kawin larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan secara adat dengan kembali membawa sang perempuan ke rumahnya yang selanjutnya disebut a’bajik.
Jika ini belum dilakukan, maka status tumasiri’ tetap melekat bagi keluarga perempuan. Namun jika a’bajik sudah dilaksanakan, maka pasangan kawin lari tadi secara hukum adat sudah terlindungi. Siapa saja yang mengganggunya akan dicap sebagai pelanggar adat dan dikenakan hukum adat.
“Inti budaya siri’ na pacce itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi, mencakup seluruh aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Karena, siri’ na pacce itu merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar,” ucap pria kelahiran Jepang, 21 September 1983 ini.
Siri’ na pacce, imbuhnya, juga berfungsi mencipatakan hubungan harmonis serta melahirkan kerukunan antar sesama, baik dalam relasi antar-individu, kelompok, maupun kemasyarakatan. Konsep itu, kata lelaki bujang ini, berkaitan erat dengan saling menghargai atau sipakatau atau sipakalabbiri (Makassar). Intinya, kata dia, budaya siri’ na pacce mengarahkan manusia untuk saling menghargai dan menghormati harga diri masing-masing, serta saling mengasihi dan menyayangi.
Dan itu, imbuhnya, sampai kini tidak mengalami pergeseran berarti, kecuali pada wilayah ekspresif atau simbol. Dalam Bahasa Indonesia, siri’ biasa diterjemahkan dengan malu, harga diri, kehormatan. Tapi menurut Iwata, semua itu tidak pas mewakili makna siri’ yang sebenarnya.
“Sering saya dengar orang terutama di media-media mengatakan bahwa budaya siri’ na acce itu telah pudar. Tetapi menurut saya, keberadaan wacana seperti itu membuktikan bahwa perhatian terhadap budaya ini masih sangat tinggi. Mengapa? Karena orang di sini sendiri menganggap budaya ini sebagai suatu konsep yang begitu tinggi, yakni suatu nilai budaya yang sangat penting,” urainya. Menurut Iwata, ada kemiripan budaya malu antara orang Jepang dan Bugis-Makassar. Orang Jepang, katanya, selalu memperhatikan pandangan orang lain terhadap dirinya sementara orang Sulsel (Makassar), kehormatan atau harkat keluarga begitu dijunjung. Rasa persaudaraan orang Sulsel juga dinilainya sangat tinggi.
Akhir FTV ini setidaknya memiliki kesesuaian dengan esensi Siri’ Na Pacce hasil penelitian Go Iwata. Bahwa nilai luhur budaya ini mengandung spirit menjunjung tinggi harmoni kehidupan dan humanisme.
Secara keseluruhan, disela-sela kekurangan yang ada, kehadiran FTV BTA ini sungguh membawa angin segar bagi perfilman Indonesia. Saya salut atas usaha penggagas FTV ini termasuk SCTV yang menayangkan film yang sarat dengan muatan budaya lokal Indonesia ini, semoga dimasa mendatang, akan semakin banyak hasil karya sineas kita yang secara konsisten mengangkat tema-tema bernuansa budaya lokal khas masyarakat Indonesia.
Catatan:
Sumber foto dari Facebook Fan Page “Badik Titipan Ayah”
Deg – degan banget malem ini. Bukan karena malem minggu mau di apelin sama siapaaaa gituh. Bukaaannnnnn banget (padahal berharap). Tapi karena besok adalah kegiatan edukasi SeBUAI yang pertama di Rumah Baca Mutiara Mandiri. Dan, aku akan mengajarkan pelajaran bahasa Inggris buat anak – anak usia TK 0 kecil & 0 besar. Pelajarannya ngga yang susah – susah juga. Cukup pengenalan spelling, greeting, introducing & singing.
Sementara yang usia SD akan di handle sama Arief & yang lain untuk nonton film Laskar Pelangi. Walaupun Cuma sederhana aja, di dalem ruangan, pake infokus & filmnya diputer dari Laptop. Tapi anak – anak itu pinter banget. Masa mereka minta karcis buat nonton sama Ibu Omah, pemilik rumah belajar ini. Karena kata mereka kalau nonton bioskop mesti pake karcis. Akhirnya, sama Bu Omah dibikinin pake kertas kecil yang dikasih cap. Terus mereka juga bilang kalau mau masuk mesti antri. Ya ampuunn lucu – lucu banget & pinter. Mereka yang sekecil itu aja udah tau tata tertib. Alhasil, aku sama Arif yang tadi dateng kesana sampai ngakak dengernya. Dan ngerasa bersalah kenapa sampai ngga kepikiran hal yang sekecil itu ya.
Haduuuuhhhhh jadi ngga sabar nunggu besok. Rasanya campur aduk karena aku udah lama ngga ngajar. Dulu, 1 tahun yang lalu aku pernah jadi guru privat gitu. Ngajar bahasa inggris buat anak kelas 2 SD. Pernah juga ngajar semua mata pelajaran untuk anak kelas 5 SD, yang sekolahnya di International School jadi pengantarnya bahasa Inggris. Pernah juga jadi guru privat buat anak kelas 1 SMP, juga yang sekolahnya di International School. Karena jadwal kuliah makin padat, jadi yaaa ngajar privat pun aku tinggalin demi konsentrasi kuliah.
Kalau waktu masih ngajar, pulang kerja jam setengah 4, aku langsung meluncur ke rumah murid ku karena les dimulai jam 4 sampai jam setengah 6. Setelah itu langsung ke kampus buat kuliah. Plumpang – Sunter – Cempaka Putih. Plumpang – Percetakan Negara – Cempaka Putih. Wiiihhhh dahsyat juga kalau mengenang saat – saat itu.
Jadi guru atau pengajar itu ngga gampang. Kita harus bisa mengendalikan si anak. Ngebaca mood-nya. Bisa tegas tapi ngga bikin dia takut. Dan yang pasti, harus bisa bikin anak itu ngerti sama apa yang kita ajarin. Ngga hanya soal pelajaran, diluar itu guru adalah sumber ilmu, teman diskusi, sumber pengalaman, dan teladan buat kita. Two THUMBS UP buat para guru. I Love You Full.
Sukakah anda makan bakso?
Dari sejumlah orang yang saya berikan pertanyaan seperti itu, 90% menjawab: Suka!
Iyalah, memang bakso (plus mie) yang bahan utamanya adalah daging ditambah tepung ini (tapi banyak juga yang kebalik ya, lebih banyak tepungnya daripada dagingnya!), sudah menjadi makanan yang sangat populer bagi masyarakat Indonesia. Di mana-mana, di kota-kota, di kampung-kampung, di pelosok-pelosok ada orang yang menjual bakso dan banyak orang yang makan bakso. Begitulah saking memasyarakatnya makanan jenis ini.
Bakso! Benar-benar dikau disukai banyak orang, wanita dan laki-laki, kapan saja di mana saja.
Pernahkah anda makan bakso di ketinggian, di lantai 18? Dan sambil makan bakso, anda bisa melihat pemandangan indah, jauh di bawah anda?
Sebagian besar belum pernah kan?! …hehehe…
(Tanya anda) Memangnya ada? … Di mana dong?
(Pikir anda) Jangan-jangan di hotel berbintang atau restoran gedung tinggi di Jakarta. Dengan harga berbintang pula?
Waduh, berat di kantong dong!
He.he.he…ternyata makan bakso di lantai 18 tidaklah di hotel berbintang atau di restoran yang berada di gedung tinggi di Jakarta. Melainkan di sebuah menara, di kota Semarang!
Dan kabar gembiranya, harganya pun masih terjangkau-lah! Harga kita-kita!
(Anda penasaran) Aah…yang boong? Bener nggak nih?
Bener banget! Ini pengalaman saya dan keluarga sewaktu mudik Lebaran kemarin di Semarang. Kami menyempatkan diri untuk mengunjungi Mesjid Agung Jawa Tengah (MAJT), yang beberapa tahun yang lalu pernah kami kunjungi. Dulu, kami belum sempat menaiki menara yang berada di mesjid itu karena saat itu rupanya orang yang mengantri untuk bisa naik sedang banyak sekali. Nah, saat kunjungan terakhir kemarin itu, kebetulan orang yang sedang mengantri sedikit, sehingga dengan sangat antusias kami sekeluarga masuk ke dalam antrian untuk bisa menaiki menara mesjid yang tingginya katanya 99 meter ini.
Di atas menara itu, di lantai 18, terdapat rumah makan/resto yang menyajikan menu utama bakso. Bayangkan, satu-satunya rumah makan yang berada di menara tersebut! Jadi kita yang makan di rumah makan tersebut, pastilah merasa istimewa, karena jarang rumah makan, apalagi di sana kita cuma makan mie bakso, yang lokasinya berada di ketinggian seperti itu. Memberikan sensasi tersendiri!
Menara Mesjid Agung Jawa Tengah, dengan ketinggian 99 meter
Di sinilah lokasi rumah makan itu!
Terus, selain yang istimewa lokasinya, apalagi yang jadi kelebihan?
Rasa bakso-nya…jujur, saya bilang enak. Istri dan anak-anak saya juga menyatakan hal yang sama.
Harganya…sangat terjangkau! Dijamin deh! Sangat murah menurut saya, jika melihat lokasi rumah makan di sana yang tentunya bayar sewanya tidak murah.
Andra dan Sasha mejeng sebelum makan, di tengahnya daftar menu Kampoeng Menara beserta harganya. Lihat saja, nggak mahal kan?
Terus apalagi?
Ada!…Rumah makan itu bisa berputar! Jadi pada saat anda makan, pemandangan di bawah sana akan selalu berubah karena meja dan kursi tempat anda makan berada di atas sebuah piringan yang berputar. Hebat bukan?
Apalagi kalau pemandangan di malam hari, yang saya yakin akan lebih indah. Gemerlap kelap-kelip cahaya lampu di seantero kota Semarang yang eksotis, yang akan memberikan anda pemandangan dan pengalaman benar-benar luar biasa.
Sasha mejeng sebelum makan, dengan latar belakang pemandangan kota Semarang. Mantab bukan?
Jadi?
Kalau anda berkesempatan berkunjung ke Mesjid Agung Jawa Tengah, pastikan anda bisa menaiki menara mesjid, yang disebut Menara Asma’ul Husna (Eh, saya lupa memberi tahu…naik menara harus membeli tiket seharga 5000 rupiah per orang), dan jika anda merasa kelaparan pada saat berada di atas menara, silakan mampir di rumah makan tersebut. Nama rumah makannya…Resto Kampoeng Menara!
Baksonya enak, relatif murah…dan sensasinya itu lho! (CP, Sep 2010)
Bakso kotak, bakso andalan rumah makan ini
Si Andra sendiri menyatakan bahwa bakso yang dimakannya memang uenak.
Membaca bagi saya sama dengan rekreasi. Dulu sewaktu masih SD-SMP di surabaya, setiap malam minggu saya selalu ke toko buku di jalan tunjungan hanya untuk membaca dan bermain lego, kenapa….?? karena gratis dan “penyakit” ini berlanjut sampai sekarang dan menular ke anak saya Galih.
Buku apa aja saya baca yang penting ada tulisannya. Kitab suci injil dan Alqur’an sering juga dibaca hanya karena senang ceritanya, seruuuu.
Buku seperti kho ping ho, gundala putra petir, godam, Tintin, 5 sekawan, bobo, kuncung, tomtom, ananda, trubus, si buta dari gua hantu, dll sudah jadi langganan setiap hari.
Buku yang paling saya senangi sewaktu SMP yaitu buku annie arrow (gak usah nanya ini buku apa yang penting asyiiiik……)
Sewaktu SMA sudah mulai berubah lagi bukunya, yang dibaca buku not balok, komposisi musik, biografi musisi luar negeri, aransemen lagu dan sejenisnya. Maklum cita-cita jadi musisi yang akhirnya harus “terkalahkan sementara”
Masa kuliah beda lagi bukunya, buku programming, database program, robotic, accounting, yang kesemuanya dalam bahasa inggris.
Setelah lulus kuliah 5 tahun, bacaannya berbeda lagi, majalah motivasi, buku penjualan, biografi, dll digunakan sebagai penyemangat usaha.
Dalam masa kemasa, pola baca saya juga ikut berubah, sekarang ini saya bacanya jadi “lambat” karena saya lebih sering langsung di-”praktekin” daripada harus dibaca sampai habis.
Buku Marketing Revolution TDW aja hampir 1 tahun baru selesai baca, kenapa.. karena setiap paragraph selalu saya bayangin dan langsung praktek.
Tetapi ada juga buku yang cepet saya bacanya yang berjudul Djoenaedi Joesoef senyum, sederhana, sukses yang menceritakan tentang sejarahnya membangun ratusan produk KONIMEX selama berpuluh-puluh tahun. Hanya butuh waktu 5 hari saya sudah bisa selesai dan TAMAT.
Buku yang menceritakan kisah kemanusiaan seperti Mahabarata, kisah Rama dan Shinta juga termasuk buku yang cepat saya baca dan mengasyikkan karena bisa mengajak khayalan saya ke negeri para dewa, negerinya para wayang.
Saya tahu buku ini sewaktu saya membaca kitab suci Wedha di Bali di rumah seorang teman. Isinya sangat menarik dan membuat saya harus membalik terus halaman demi halaman.
Setelah sekian lama akhirnya saya sadar bahwa dari seringnya baca buku ternyata NGGAK BAGUS JUGA. Ini yang saya alami yang kemudian diperkuat dengan statement kawan saya pak Roni setelah mendengar “petuah” Sir Richard Branson.
Inti statemennya kurang lebih sebagai berikut…… dengan banyak tahu maka akan menghambat langkah maju kedepan, NONJOK BANGET..!!!
Maka dari itu, sudah lama saya tidak baca buku-buku tentang penjualan karangan siapapun. Buku terakhir saya buku ringan yang berjudul Chicken Soup for The Soul yang itupun tidak habis saya baca karena isinya bisa menghambat langkah saya saat ini.